Beberapa
saat setelah bayi dilahirkan, pengaruh hormonal dari ibu akan segera menurun,
hanya sedikit aktivitas kelenjar sebasea ini pada masa bayi. Seiring dengan
bertambahnya usia, aktivitas kelenjar akan meningkat akibat pengaruh
hormon-hormon seksual. Sejalan dengan meningkatnya aktivitas kelenjar ini
flora-flora normal kulit termasuk flora normal seperti Malassezia furfur mengalami peningkatan proliferasi akibat
meningkatnya lemak/minyak/sebum sebagai sumber makanannya. Organisme ini
membutuhkan lemak komplek yang ada di permukaan kulit untuk dapat hidup dengan
cara mendegradasi minyak dan asam lemak bebas dari trigliserida dan
mengkonsumsi asam lemak tak jenuh spesifik.
Kulit
kepala merupakan bagian kulit tubuh yang unik karena banyaknya folikel rambut
dan tingginya produksi minyak, sehingga kulit kepala lebih rentan terhadap
infeksi flora normal (seperti ketombe, tinea kapitis, dermatitis seboroik),
infeksi parasit seperti kutu rambut, peradangan seperti psoriasis. Pada
neonatus dengan aktifitas kelenjar sebasea yang lebih dini terjadi pula
peningkatan mikroflora dan dapat terjadi ”cradle cap”.
Pada
prinsipnya kulit kepala yang kering dan bersisik, ketombe dan seboroik
dermatitis merupakan gangguan kronik pada kulit kepala dengan penyebab yang
sama, hanya berbeda dalam derajat keparahan penyakitnya saja.
Ketombe
merupakan keluhan yang sering didengar dan diderita sebanyak hampir 50% dari
populasi semasa hidupnya pernah menderita ketombe dan menimbulkan rasa tidak
nyaman. Kondisi ini secara umum ditandai dengan terbentuknya serpihan-serpihan
kering di kulit kepala serupa kulit kering dan disertai rasa gatal. Seringkali
ketombe ini diperburuk oleh perubahan kondisi kelembaban lingkungan, trauma
akibat garukan, perubahan cuaca dan stress emosional. Baru-baru ini telah
dibuktikan bahwa flora normal kulit seperti Malassezia
ternyata berperanan penting pada proses terjadinya ketombe, dermatitis seboroik
dan beberapa penyakit kulit termasuk dermatitis atopik maupun penyakit kulit
lainnya. Malassezia menyebabkan
peradangan melalui stimulasi produksi sitokin oleh keratinosit. Beberapa
peneliti bahkan mengemukakan bahwa flora normal Malassezia ini memprovokasi terbentuknya lesi-lesi psoriasis pada
penderita psoriasis. Walaupun teori peranan Malassezia
sudah dikemukakan oleh beberapa peneliti, namun masih terdapat kontroversi
karena sulitnya isolasi, kultur maupun identifikasi flora normal tersebut.
A.
Malassezia
Flora
normal dari genus Malassezia terkait
dengan beberapa penyakit yang mengenai kulit manusia, seperti pityriasis versicolor, folliculitis
Malassezia (Pityrosporum), dermatitis seborheik dan dandruff, dermatitis
atopik, psoriasis, dan yang menyertai penyakit-penyakit kulit lainnya seperti papillomatosis
konfluen atau papillomatosis retikulasi, onychomycosis, dan dermatosis
acantholytic transient. Walaupun flora normal dari genus Malassezia adalah bagian dari mikroflora normal, namun pada kondisi
tertentu mereka bisa menyebabkan infeksi pada permukaan kulit.
Penelitian
tentang peranan klinis dari spesies Malassezi telah diwarnai oleh kotroversi
karena sifat spesies ini yang tidak menentu secara in vitro, dan pengisolasian,
pengkulturan, serta pengidentifikasiannya yang relatif sulit dilakukan. Banyak penelitian
yang telah dipublikasikan beberapa tahun tahun sebelumnya setelah revisi
taksonomi dilakukan pada tahun 1996 dimana ada 7 spesies yang diidentifikasi. Dua
spesies terbru baru baru – baru ini ditemukan. Satu diantaranya diisolasi dari
pasien yang menderita dermatitis atopik.
B. Hubungan antara Malassezia
dengan Dandruff serta penyakit kulit lain
Walaupun flora
normal dari genus Malassezia adalah
bagian dari flora kulit yang normal, namun mereka juga bisa terkait dengan
beberapa kondisi dermatologi yang umum. Pada umumnya disepakati bahwa
pityriasis versicolor dan folliculitis Malassezia
(Pityrosporum) disebabkan oleh flora
normal Malassezia. Untuk dermatitis
seborheik (SD) dan dandruff (SD/D), peranan Malassezia
dalam penyakit ini sudah jelas, tetapi peranan spesies tertentu masih perlu
ditentukan.
Akan
tetapi, telah ada beberapa laporan dalam literatur yang mengkaitkan semua
penyakit ini dengan flora normal Malassezia.
Secara umum, karena ketergantungannya terhadap lipid untuk bisa bertahan hidup,
flora normal Malassezia paling sering
ditemukan di area kulit yang kaya akan sebum seperti batang tubuh, punggung,
wajah dan kulit kepala. Terkadang juga bisa ditemukan pada area - area lain
dari tubuh termasuk lengan, kaki, dan genitalia.
Pada
beberapa kasus, area – area ini juga bisa mengalami penyakit – penyakit klinis
yang terkait dengan Malassezia. Akan
tetapi, pada kebanyakan pasien,
keterlibatan kulit terlokalisasi pada area - area kulit yang spesifik. Dulunya
dipercayai bahwa genus ini (yang selanjutnya dikenal sebagai Pityrosporum) terdiri dari dua spesies,
yang sering dibedakan menurut morfologi selnya. Disamping itu, laporan - laporan
yang menggunakan taksonomi Pityrosporum lama menunjukkan bahwa prevalensi
relatif dari P. orbiculare dan P. ovale berbedabeda menurut area tubuh dan
lokasi geografis pasien.
Masih
sedikit lapora kasus dalam literatur yang mengkaitkan flora normal Malassezia dengan berbagai penyakit
kulit lainnya. Secara khusus, Malassezia
telah dibuktikan terlibat pada sekurang-kurangnya beberapa kasus papillomatosis (konfluen dan reticulated).
Pada salah satu kasus, pasien berhasil diobati menggunakan selenium sulfida,
sebuah perawatan topikal untuk pityriasis versicolor. Sebuah hubungan yag
mungkin antara Malassezia dan
acantholityc ermatosis sementara juga telah diseutkan, lagi – lagi berdasarkan
respon penyakit erhadap selenium sulfida.
Terakhir, walaupun
sampai 90% kasus onychomcosis disebabkan oleh dermatofita, telah ada beberapa
laporan dalam literatur tentang pasien yang mengalami onychomcosis yang darinya
jamur Malassezia diisolasi. Jamur
tidak biasanya menempati kuku, karena kuku bukan sumber lipid yang baik. Akan
tetapi, ada kemungkinan bahwa keberadaannya pada kasus – kasus ini terjadi
akibat infeksi sekunder pada pasien yang mengalami onychomcosis.
C. Efek Malassezia Dalam
Memproduksi Sitokin dan Keratinosit
Malassezia yang menyebabkan mycoses
permukaan bisa menginduksi produksi sitokin oleh keratinosit manusia sehingga
ada perbedaan kemampuan untuk menginduksi produksi sitokin yang dilakukan oleh
keratinosit manusia diantara flora normal Malassezia.
Perbedaan produksi sitokin ini bisa mencerminkan responrespon inflammatory yang
berbeda, yakni, infiltrat inflammatory dalam kulit diantara beberapa dermatosa
yang terkait dengan infeksi Malassezia.
Dideteksi β α pada supernatant, meningkat setelah dikulturkan bersama dengan M. pachydermatis, M. slooffiae, dan M.
sympodialis, sedangkan sitokin dalam supernatan yang dikulturkan bersama
dengan M. furfur cukup rendah atau tidak terdeteksi. Hasil ini menunjukkan bahwa
M. furfur menyebabkan tidak ada respon inflammatory dalam kulit dan bisa
menjadi bagian dari flora mikrobiologis kulit. Akan tetapi, flora normal Malassezia lain bisa menyebabkan
dermatosa atau dandruff yang berbeda secara klinis dan histologis, menurut
kemampuan mereka untuk menginduksi produksi sitokin yang dilakukan oleh
keratinosit manusia. Sebagai contoh, beberapa flora normal Malassezia menstimulasi produksi IL8 yang dilakukan oleh
keratinosit manusia, sehingga menyebabkan infiltrasi neutrofilik dalam dermatosa
yang terkait Malasseize, seperti dandruff.
Dengandemikian,
efek Malassezia terhadap produksi sitokin oleh keratinosit manusia bisa
menjelaskan mekanisme patogenik yang digunakan oleh jamur Malassezia untuk menyebabkan dandruff.
Disamping
itu, kadar sitokin lebih tinggi pada supernatant yang dikulturkan bersama M. pachydermatis dibanding yang
dikulturkan bersama M. slooffiae dan M.
sympodialis. M. pachydermatis pertama kali ditemukan pada tahun 1925 pada
sebuah badak yang mengalami dermatitis eksfoliatif (Weidman, 1925) dan
selanjutnya ditemukan terkait dengan otitis media dan otitis externa pada
anjing (AbouGabadkk., 1979).
Secara
umum, dermatosa hewan ini lebih parah secara klinis dan histologis dibanding
dermatosa manusia yang terkaitMalassezia.
Dengan demikian, perbedaan kemampuan untuk menginduksi produksi sitokin antara M. pachydermatis dengan jamur Malassezia lainnya bisa mencerminkan
perbedaan keparahan antara dermatosa hewan dan manusia.
A. Kesimpulan
Flora
normal dari genus Malassezia terkait
dengan beberapa penyakit yang mengenai kulit manusia, seperti pityriasis versicolor, folliculitis
Malassezia (Pityrosporum), dermatitis seborheik dan dandruff, dermatitis atopik,
psoriasis, dan yang menyertai penyakit-penyakit kulit lainnya seperti papillomatosis konfluen atau papillomatosis
retikulasi, onychomycosis, dan dermatosis
acantholytic transient. Walaupun flora normal dari genus Malassezia adalah bagian dari mikroflora
normal, namun pada kondisi tertentu mereka bisa menyebabkan infeksi pada
permukaan kulit. Contoh penyakit kulit akibat infeksi flora ini adalah dandruff
atau yang sering dikenal dengan sebutan ketombe.
B. Saran
1.
Harus ada penelitian yang menghasilkan data dalam kaitannya untuk
menentukan patogenesis penyakit yang terkait malassezia.
2.
Penelitian yang spesifik spesies diperlukan untuk mengklarifikasi
peranan masing – masing anggota genus Malassezia
dalam penyakit kulit tertentu.
E. Diagnosis
Diagnosis
dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pada berbagai
gejala dari gambaran klinis yang ditemukan pada dermatitis seboroik juga dapat
dijumpai pada dermatitis atopik atau psoriasis, sehingga diagnosis sangat sulit
untuk ditegakkan oleh karena baik gambaran klinis maupun gambaran histologi
dapat serupa. Oleh sebab itu, perlu ketelitian untuk membedakan DS dengan
penyakit lain sebagai diferensial diagnosis. Psoriasis misalnya yang juga dapat
ditemukan pada kulit kepala, kadang disamakan dengan DS, yang membedakan ialah
adanya plak yang mengalami penebalan pada liken simpleks
A. Kesimpulan
Dermatitis
seboroik (DS) atau Seborrheic eczema
merupakan penyakit yang umum, kronik, dan merupakan inflamasi superfisial dari
kulit, ditandai oleh pruritus,
berminyak, bercak merah dengan berbagai ukuran dan bentuk yang menutup daerah
inflamasi pada kulit kepala, muka, dan telinga. Daerah lain yang jarang
terkena, seperti daerah presternal dada
Flora
Normal Pityrosporum ovale kemungkinan merupakan faktor
penyebab. Penelitian–penelitian melaporkan adanya suatu flora normal kult yaitu
lipofilik, pleomorfik, Malasssezia ovalis
(Pityrosporum ovale), pada beberapa pasien dengan lesi pada kulit kepala.
B. Saran
Bila sudah ada tanda-tanda ketombe,
sebaiknya segera ditangani. Sebab, infeksi yang berat dapat menyebabkan
kebotakan permanent, yang tentunya sangat mengganggu kaum perempuan. Penanganan
pada ketombe pada prinsipnya adalah dengan menurunkan jumlah produksi lemak dan
menormalkan jumlah flora normal di kulit kepala. Caranya dengan mencuci rambut
setiap hari dengan sampo antiketombe yang mengandung selenium sulfide atau zinc
pyrithion dan memberikan obat antijamur, yang dapat berupa obat minum maupun
obat topical (dioleskan langsung pada tempat terkena).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar