Kamis, 27 September 2012

Penyakit Kulit Yang Disebabkan Infeksi Spesies Malassezia


Beberapa saat setelah bayi dilahirkan, pengaruh hormonal dari ibu akan segera menurun, hanya sedikit aktivitas kelenjar sebasea ini pada masa bayi. Seiring dengan bertambahnya usia, aktivitas kelenjar akan meningkat akibat pengaruh hormon-hormon seksual. Sejalan dengan meningkatnya aktivitas kelenjar ini flora-flora normal kulit termasuk flora normal seperti Malassezia furfur mengalami peningkatan proliferasi akibat meningkatnya lemak/minyak/sebum sebagai sumber makanannya. Organisme ini membutuhkan lemak komplek yang ada di permukaan kulit untuk dapat hidup dengan cara mendegradasi minyak dan asam lemak bebas dari trigliserida dan mengkonsumsi asam lemak tak jenuh spesifik.

Kulit kepala merupakan bagian kulit tubuh yang unik karena banyaknya folikel rambut dan tingginya produksi minyak, sehingga kulit kepala lebih rentan terhadap infeksi flora normal (seperti ketombe, tinea kapitis, dermatitis seboroik), infeksi parasit seperti kutu rambut, peradangan seperti psoriasis. Pada neonatus dengan aktifitas kelenjar sebasea yang lebih dini terjadi pula peningkatan mikroflora dan dapat terjadi ”cradle cap”.
Pada prinsipnya kulit kepala yang kering dan bersisik, ketombe dan seboroik dermatitis merupakan gangguan kronik pada kulit kepala dengan penyebab yang sama, hanya berbeda dalam derajat keparahan penyakitnya saja.
Ketombe merupakan keluhan yang sering didengar dan diderita sebanyak hampir 50% dari populasi semasa hidupnya pernah menderita ketombe dan menimbulkan rasa tidak nyaman. Kondisi ini secara umum ditandai dengan terbentuknya serpihan-serpihan kering di kulit kepala serupa kulit kering dan disertai rasa gatal. Seringkali ketombe ini diperburuk oleh perubahan kondisi kelembaban lingkungan, trauma akibat garukan, perubahan cuaca dan stress emosional. Baru-baru ini telah dibuktikan bahwa flora normal kulit seperti Malassezia ternyata berperanan penting pada proses terjadinya ketombe, dermatitis seboroik dan beberapa penyakit kulit termasuk dermatitis atopik maupun penyakit kulit lainnya. Malassezia menyebabkan peradangan melalui stimulasi produksi sitokin oleh keratinosit. Beberapa peneliti bahkan mengemukakan bahwa flora normal Malassezia ini memprovokasi terbentuknya lesi-lesi psoriasis pada penderita psoriasis. Walaupun teori peranan Malassezia sudah dikemukakan oleh beberapa peneliti, namun masih terdapat kontroversi karena sulitnya isolasi, kultur maupun identifikasi flora normal tersebut.
A.     Malassezia
Flora normal dari genus Malassezia terkait dengan beberapa penyakit yang mengenai kulit manusia, seperti pityriasis versicolor, folliculitis Malassezia (Pityrosporum), dermatitis seborheik dan dandruff, dermatitis atopik, psoriasis, dan yang menyertai penyakit-penyakit kulit lainnya seperti papillomatosis konfluen atau papillomatosis retikulasi, onychomycosis, dan dermatosis acantholytic transient. Walaupun flora normal dari genus Malassezia adalah bagian dari mikroflora normal, namun pada kondisi tertentu mereka bisa menyebabkan infeksi pada permukaan kulit.
Penelitian tentang peranan klinis dari spesies Malassezi telah diwarnai oleh kotroversi karena sifat spesies ini yang tidak menentu secara in vitro, dan pengisolasian, pengkulturan, serta pengidentifikasiannya yang relatif sulit dilakukan. Banyak penelitian yang telah dipublikasikan beberapa tahun tahun sebelumnya setelah revisi taksonomi dilakukan pada tahun 1996 dimana ada 7 spesies yang diidentifikasi. Dua spesies terbru baru baru – baru ini ditemukan. Satu diantaranya diisolasi dari pasien yang menderita dermatitis atopik.

B.     Hubungan antara Malassezia dengan Dandruff serta penyakit kulit lain
Walaupun flora normal dari genus Malassezia adalah bagian dari flora kulit yang normal, namun mereka juga bisa terkait dengan beberapa kondisi dermatologi yang umum. Pada umumnya disepakati bahwa pityriasis versicolor dan folliculitis Malassezia (Pityrosporum) disebabkan oleh flora normal Malassezia. Untuk dermatitis seborheik (SD) dan dandruff (SD/D), peranan Malassezia dalam penyakit ini sudah jelas, tetapi peranan spesies tertentu masih perlu ditentukan.
Akan tetapi, telah ada beberapa laporan dalam literatur yang mengkaitkan semua penyakit ini dengan flora normal Malassezia. Secara umum, karena ketergantungannya terhadap lipid untuk bisa bertahan hidup, flora normal Malassezia paling sering ditemukan di area kulit yang kaya akan sebum seperti batang tubuh, punggung, wajah dan kulit kepala. Terkadang juga bisa ditemukan pada area - area lain dari tubuh termasuk lengan, kaki, dan genitalia.
Pada beberapa kasus, area – area ini juga bisa mengalami penyakit – penyakit klinis yang terkait dengan Malassezia. Akan tetapi, pada  kebanyakan pasien, keterlibatan kulit terlokalisasi pada area - area kulit yang spesifik. Dulunya dipercayai bahwa genus ini (yang selanjutnya dikenal sebagai Pityrosporum) terdiri dari dua spesies, yang sering dibedakan menurut morfologi selnya. Disamping itu, laporan - laporan yang menggunakan taksonomi Pityrosporum lama menunjukkan bahwa prevalensi relatif dari P. orbiculare dan P. ovale berbedabeda menurut area tubuh dan lokasi geografis pasien.
Masih sedikit lapora kasus dalam literatur yang mengkaitkan flora normal Malassezia dengan berbagai penyakit kulit lainnya. Secara khusus, Malassezia telah dibuktikan terlibat pada sekurang-kurangnya beberapa kasus papillomatosis (konfluen dan reticulated). Pada salah satu kasus, pasien berhasil diobati menggunakan selenium sulfida, sebuah perawatan topikal untuk pityriasis versicolor. Sebuah hubungan yag mungkin antara Malassezia dan acantholityc ermatosis sementara juga telah diseutkan, lagi – lagi berdasarkan respon penyakit erhadap selenium sulfida.
Terakhir, walaupun sampai 90% kasus onychomcosis disebabkan oleh dermatofita, telah ada beberapa laporan dalam literatur tentang pasien yang mengalami onychomcosis yang darinya jamur Malassezia diisolasi. Jamur tidak biasanya menempati kuku, karena kuku bukan sumber lipid yang baik. Akan tetapi, ada kemungkinan bahwa keberadaannya pada kasus – kasus ini terjadi akibat infeksi sekunder pada pasien yang mengalami onychomcosis.
C.    Efek Malassezia Dalam Memproduksi Sitokin dan Keratinosit
Malassezia yang menyebabkan mycoses permukaan bisa menginduksi produksi sitokin oleh keratinosit manusia sehingga ada perbedaan kemampuan untuk menginduksi produksi sitokin yang dilakukan oleh keratinosit manusia diantara flora normal Malassezia. Perbedaan produksi sitokin ini bisa mencerminkan responrespon inflammatory yang berbeda, yakni, infiltrat inflammatory dalam kulit diantara beberapa dermatosa yang terkait dengan infeksi Malassezia. Dideteksi β α pada supernatant, meningkat setelah dikulturkan bersama dengan M. pachydermatis, M. slooffiae, dan M. sympodialis, sedangkan sitokin dalam supernatan yang dikulturkan bersama dengan M. furfur cukup rendah atau tidak terdeteksi. Hasil ini menunjukkan bahwa M. furfur menyebabkan tidak ada respon inflammatory dalam kulit dan bisa menjadi bagian dari flora mikrobiologis kulit. Akan tetapi, flora normal Malassezia lain bisa menyebabkan dermatosa atau dandruff yang berbeda secara klinis dan histologis, menurut kemampuan mereka untuk menginduksi produksi sitokin yang dilakukan oleh keratinosit manusia. Sebagai contoh, beberapa flora normal Malassezia menstimulasi produksi IL8 yang dilakukan oleh keratinosit manusia, sehingga menyebabkan infiltrasi neutrofilik dalam dermatosa yang terkait Malasseize, seperti dandruff.
Dengandemikian, efek Malassezia terhadap produksi sitokin oleh keratinosit manusia bisa menjelaskan mekanisme patogenik yang digunakan oleh jamur Malassezia untuk menyebabkan dandruff.
Disamping itu, kadar sitokin lebih tinggi pada supernatant yang dikulturkan bersama M. pachydermatis dibanding yang dikulturkan bersama M. slooffiae dan M. sympodialis. M. pachydermatis pertama kali ditemukan pada tahun 1925 pada sebuah badak yang mengalami dermatitis eksfoliatif (Weidman, 1925) dan selanjutnya ditemukan terkait dengan otitis media dan otitis externa pada anjing (AbouGabadkk., 1979).
Secara umum, dermatosa hewan ini lebih parah secara klinis dan histologis dibanding dermatosa manusia yang terkaitMalassezia. Dengan demikian, perbedaan kemampuan untuk menginduksi produksi sitokin antara M. pachydermatis dengan jamur Malassezia lainnya bisa mencerminkan perbedaan keparahan antara dermatosa hewan dan manusia.

A.    Kesimpulan
Flora normal dari genus Malassezia terkait dengan beberapa penyakit yang mengenai kulit manusia, seperti pityriasis versicolor, folliculitis Malassezia (Pityrosporum), dermatitis seborheik dan dandruff, dermatitis atopik, psoriasis, dan yang menyertai penyakit-penyakit kulit lainnya seperti papillomatosis konfluen atau papillomatosis retikulasi, onychomycosis, dan dermatosis acantholytic transient. Walaupun flora normal dari genus Malassezia adalah bagian dari mikroflora normal, namun pada kondisi tertentu mereka bisa menyebabkan infeksi pada permukaan kulit. Contoh penyakit kulit akibat infeksi flora ini adalah dandruff atau yang sering dikenal dengan sebutan ketombe.

B.     Saran
1.      Harus ada penelitian yang menghasilkan data dalam kaitannya untuk menentukan patogenesis penyakit yang terkait malassezia.
2.      Penelitian yang spesifik spesies diperlukan untuk mengklarifikasi peranan masing – masing anggota genus Malassezia dalam penyakit kulit tertentu.


E.     Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pada berbagai gejala dari gambaran klinis yang ditemukan pada dermatitis seboroik juga dapat dijumpai pada dermatitis atopik atau psoriasis, sehingga diagnosis sangat sulit untuk ditegakkan oleh karena baik gambaran klinis maupun gambaran histologi dapat serupa. Oleh sebab itu, perlu ketelitian untuk membedakan DS dengan penyakit lain sebagai diferensial diagnosis. Psoriasis misalnya yang juga dapat ditemukan pada kulit kepala, kadang disamakan dengan DS, yang membedakan ialah adanya plak yang mengalami penebalan pada liken simpleks

A.    Kesimpulan
Dermatitis seboroik (DS) atau Seborrheic eczema merupakan penyakit yang umum, kronik, dan merupakan inflamasi superfisial dari kulit, ditandai oleh pruritus, berminyak, bercak merah dengan berbagai ukuran dan bentuk yang menutup daerah inflamasi pada kulit kepala, muka, dan telinga. Daerah lain yang jarang terkena, seperti daerah presternal dada
Flora Normal Pityrosporum ovale kemungkinan merupakan faktor penyebab. Penelitian–penelitian melaporkan adanya suatu flora normal kult yaitu lipofilik, pleomorfik, Malasssezia ovalis (Pityrosporum ovale), pada beberapa pasien dengan lesi pada kulit kepala.

B.     Saran
Bila sudah ada tanda-tanda ketombe, sebaiknya segera ditangani. Sebab, infeksi yang berat dapat menyebabkan kebotakan permanent, yang tentunya sangat mengganggu kaum perempuan. Penanganan pada ketombe pada prinsipnya adalah dengan menurunkan jumlah produksi lemak dan menormalkan jumlah flora normal di kulit kepala. Caranya dengan mencuci rambut setiap hari dengan sampo antiketombe yang mengandung selenium sulfide atau zinc pyrithion dan memberikan obat antijamur, yang dapat berupa obat minum maupun obat topical (dioleskan langsung pada tempat terkena). 

Tidak ada komentar: